Pages

Labels

21 Jan 2011

My School "Diniyyah Puteri"

بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaykum warohmatullahi wabarokatuh.. 
 

MEMASUKI Kompleks Perguruan Diniyyah Puteri di Kelurahan Pasar Usang, Padang Panjang, Sumatra Barat, pasti Anda akan mendapatkan pengalaman baru. Dua puluh bendera asing, berkibar gagah, diapit Sang Merah Putih. Logo-logo beragam universitas kenamaan pun, terpajang megah di berbagai tempat strategis. Menariknya, kalimat "Harus Bisa...!" terlihat mencolok di dua spanduk besar.
 
Beda, memang, dengan kondisi pesantren lain yang sebelumnya Anda kenal. Perguruan yang santrinya khusus perempuan itu, kini benar-benar mengukuhkan posisinya sebagai pusat kecerdasan di kawasan Asia Tenggara, sekaligus menjadi inspirator dari jantung kota Serambi Mekkah.

Inspirator peradaban, sesungguhnya, telah menjadi ‘cita-cita baru’ baru segenap elemen yang ada di lingkungan sekolah yang didirikan Rahmah El-Yunusiyyah pada 1 November 1923 tersebut, terutama semenjak Fauziah Fauzan, SE, Akt, M.Si, diamanahi memimpin lembaga ini sejak tujuh tahun silam. Fauziah tampil dengan beragam perubahan yang dikemas dalam apa yang kini dikenal sebagai re-engineering.

  “Tahap kedua periode re-engineering (penataan kembali) yang mulai digulir pada 2008 dan berakhir pada 2013 nanti, kita akan membangun landasan untuk menjadikan Diniyyah Puteri sebagai sebuah lembaga pendidikan yang diperhitungkan, paling tidak untuk level Asia Tenggara,” ujar Bu Zizi, sapaan akrab Fauziah, dalam suatu percakapan di ruangan kerjanya.

 Mengambil peribaratan ke Singapura, menurut Bu Zizi, Diniyyah Puteri harus bisa mengukuhkan posisinya sebagai tempat bertemunya orang-orang penting dari semua inspirator peradaban di dunia, sekaligus tempat lahirnya para konseptor dan penulis handal dengan mengambil posisi sebagai pengamal ajaran Islam yang konsisten.
 Di Singapura, tegas Bu Zizi, hampir semua perusahaan besar dan berpengaruh dari seluruh dunia pantang untuk tidak membuka kantor perwakilannya di negara singa itu. Padahal, timpalnya, Singapura hanyalah negara kecil di Selat Melaka yang diapit negara-negara besar. “Kecil, tapi penting artinya bagi dunia di sektor perekonomian.”

 Begitu pulalah halnya dengan Diniyyah Puteri di masa depan. Kendati hanya sebuah titik di dalam peta Padang Panjang Kota Serambi, namun Diniyyah Puteri diprogram untuk menjadi tempat penting bagi peradaban, terutama untuk level Asia Tenggara.

Menurut Bu Zizi, proses mengukuhkan posisi sebagaimana yang dimaksud di atas, inspirator peradaban dan tempat bertemunya orang-orang penting, sempat mengalami perlambatan rotasi ketika gempa dahsyat menghoyak Padang Panjang pada Maret 2007 lalu. Gempa itu mendatangkan kerugian yang cukup besar bagi lembaga yang terletak di Kelurahan Pasar Usang, Kecamatan Padang Panjang Barat tersebut. Total nilai kerusakannya mencapai Rp6,9 miliar.

 “Dana kita habis terporsir untuk membenahi infrastuktur yang rusak akibat gempa itu. Akihatnya, program re-engineering jadi terkendala. Hingga kini, target penataan total Diniyyah Puteri di re-engineering tahap kedua ini, baru tercapai sekitar 40 persen,” terangnya.

DRC jadi muara
Guna membantu akselerasi proses penataan Diniyyah Puteri menjadi pusat peradaban dan inspirator pembangunan sumber daya manusia, Bu Zizi mengaku harus membentuk divisi-divisi otonom yang akan menunjang proses di lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada. Divisi otonom itu muaranya adalah Diniyyah Research Center (DRC).

 “Sejak dibentuk beberapa waktu lalu, DRC telah mampu menerbitkan lima buku karya guru dan karyawan Diniyyah Puteri. DRC juga telah menghasilkan beragam konsep pengembangan pendidikan. Melalui DRC pula, kini telah ada guru Diniyyah Puteri yang menjadi pembuat software khusus untuk e-learning,” tegas Bu Zizi.

 Beberapa lembaga penting di Diniyyah Puteri, imbuhnya, diharap akan kian mengukuhkan posisi perguruan dalam memainkan perannya di tengah era teknologi informasi saat ini. Sebelum DRC, tegas Bu Zizi, Perguruan Diniyyah Puteri telah dilengkapi dengan Diniyyah Training Center (DTC), Diniyyah Information Technology Center (DITC) Diniyyah Counceling Center (DCC), Diniyyah Tahfizul Quran (DTQ), dan Diniyyah Enterprise (DE).

 Kesemua divisi otonom itu diarahkan untuk menunjang proses pendidikan formal yang ada di lingkungan Diniyyah Puteri dan masyarakat umum. Lembaga-lembaga pendidikan formal itu di antaranya Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Madrasah Aliyah Kulliyatul Mua’allimat El-Islamiyah (KMI), Madrasah Tsanawiyah Diniyyah Menengah Pertama (DMP), Madrasah Ibtidaiyah dan Raudhatul Athfal (RA).

“DTC sudah berhasil mengukuhkan posisinya sebagai lembaga training pengembangan sumber daya manusia terkemuka di Indonesia. Lebih dari 100 perusahaan telah mempercayakan pelatihan dan pengembangan karyawan mereka kepada DTC. Dalam waktu dekat ini, kita akan memperkuat posisi DCC sebagai lembaga konseling untuk semua kalangan,” jelas Bu Zizi.

 Konseling dan parenting
Dikatakan, sesuai dengan trend ke depan, lembaga konseling semacam DCC akan memegang peranan kunci dalam sebuah sistem peradaban. Pasalnya, manusia akan menghadapi beragam persoalan psikologis, baik dalam hubungan dengan dirinya sendiri maupun dengan anak, anggota keluarga, tetangga dan masyarakat.
 Selain itu, DCC diharap juga bisa memiliki andil utama dalam mendukung program parenting yang diusung Perguruan Diniyyah Puteri beberapa waktu mendatang.

Saat ini, DCC telah memilih sejumlah tenaga konselor berpengalaman, namun karena semuanya adalah perempuan, maka mereka masih membatasi diri hanya untuk menerima klien kasus-kasus tertentu saja, belum membuka program bagi konseling untuk semua kalangan. Beberapa trainer DTC yang laki-laki, jelas Fauziah, kini tengah dipersiapkan untuk menjadi konselor guna membantu DCC mengembangkan programnya membantu masyarakat luas yang butuh bimbingan konseling dari tenaga-tenaga berpengalaman dan terlatih.
 Bersamaan dengan memperkukuh posisi DCC, kata Bu Zizi, Perguruan Diniyyah Puteri juga akan memainkan perannya sebagai pusat pembinaan orang tua lewat program yang dikenal sebagai parenting.

 “Pendidikan baru berhasil bila parenting berjalan bagus. Itu pulalah sebabnya, ketika menerima santri baru, yang kami tes terlebih dahulu adalah orangtua mereka, setelah itu baru anak yang menjadi calon santri. Secara konseptual, parenting tidak duduk, maka sang anak tak bisa diterima, karena sang anak diperkirakan takkan mampu mengikuti semua program pendidikan yang telah dirancang,” tekannya.

 Kita yang hidup pada hari ini, kata Bu Zizi, adalah produk dari sebuah sistem parenting yang tak duduk konsep dan ideologinya. Hampir semua orangtua yang kini menyekolahkan anak mereka di SD, SLTP dan SLTA, adalah para orangtua yang dibesarkan dengan kata-kata kasar dan kotor orangtua mereka.
 Salah satu program pembenahan dalam rangka pengejawantahan parenting adalah dengan membenahi sistem komunikasi orangtua, sehingga tidak ada lagi kata-kata kotor dan kasar di tengah-tengah keluarga. “Kini Diniyyah Puteri fokus pada pembinaan kalangan guru terlebih dahulu, nanti baru kita arahkan kepada orangtua santri.

 “Ada banyak kesalahan orangtua dalam mendidik yang perlu dibenahi lewat program parenting yang menjadi basis kegiatan DCC, di antaranya suka memerintah, membanding, meremehkan, melebel, membohongi dan menakut-nakuti,” terangnya.

 Lewat program-program unggulan pada re-enginereing tahap kedua ini, Bu Zizi mengakui, Perguruan Diniyyah Puteri akan tampil sebagai lembaga pemberi inspirasi. “Kita ingin membuat perubahan ke arah yang lebih baik dalam peradaban manusia di dunia ini. Kita ingin memberi inspirasi ke arah itu. Kita tidak bermaksud untuk membuat orang cemburu,” ucap Bu Zizi.
 
 Buku
Bila santri memenangkan berbagai lomba, lain pula halnya dengan guru dan karyawan, mereka malah mengukir prestasi dengan menulis berbagai buku yang diterbitkan DRC, sebuah lembaga otonom di lingkungan Perguruan Diniyyah Puteri yang memfokuskan gerakannya pada penerbitan jurnal ilmiah, karya guru, dosen, mahasiswa dan masyarakat yang peduli pendidikan, serta menerbitkan buku pendidikan, keagamaan, motivasi dan lain-lain.

Dalam tahun ini saja, DRC telah menerbitkan lima buku karya guru dan karyawan, yakni Perjuangan 29 Ulama Besar Ranah Minang, Agar Hidup Lebih Indah, Life School, Anak Sholeh Seri I, dan Tarbiyatul Aulad. “Kini beberapa guru dan santri tengah mempersiapkan naskah untuk segera diterbitkan,” ucapnya.

Rekor MURI
Sisi lain yang menarik untuk dicemati adalah kehadiran Qurrota Aini di Kelas II Madrasah Tsanawiyah Diniyyah Menengah Pertama (MTs DMP), setingkat SMP. Aini adalah pemecah rekor MURI untuk penulis buku termuda dan.

  “Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) itu dianugerahkan pada Januari 2005. Waktu itu, saya menjadi pemecah rekor untuk penulis antologi cerpen termuda, yakni ketika masih berusia tujuh tahun,” terang Qurrota Aini didampingi Fauziah dalam suatu percakapan khusus.

 Buku pertama yang ditulis Qurrota Aini yang memperoleh sertifikat MURI, langsung masuk kelompok buku best seller. Buku antologi cerpen tersebut beri judul Nasi untuk Kakek. “Buku itu saya tulis selama libur sekolah, Juni-Juli 2004. Kini, dalam setahun saya bisa menghasilkan karya sampai tiga judul dalam setahun. Dalam waktu dekat, insya Allah akan terbit karya terbaru saya, yakni soal kehidupan di asrama Diniyyah Puteri,” terang Aini.

 Menurut Aini, membaca adalah kata kunci yang menghantarkannya menjadi seorang penulis. Dengan banyak membaca, terangnya, beragam inspirasi bisa didapat untuk kemudian dikembangkan menjadi beraneka kisah dan cerita. Selain membaca, Aini mengaku, perjalanan hidupnya menjadi inspirasi lain yang ikut menentukan jalan kisah-kisah yang dia tulis.

 “Saya biasanya menulis di saat liburan, atau kalau lagi ada mood. Makanya, saya tak bisa lepas dari buku harian. Semua inspirasi dan yang dialami, dituliskan di buku harian tersebut. Itulah yang kemudian mengalir bagai air tatkala ditulis, sehingga menghasilkan cerpen,” ucapnya.

 Aini mengaku, bakatnya menulis sudah dimulai sejak usia dua tahun. Waktu itu, Aini suka sekali mencore-coret tembok dan kertas apa saja yang diberikan kepadanya. Ketika berada di Taman Kanak-kanak (TK), Aini sedah mampu membaca dan menulis dengan baik. Di usia itu pulalah dia mulai mengarang.

Aku, kata Aini, memang suka menulis. Menulisnya kapan saja, tidak pakai waktu-waktu dan target khusus. Bangun tidur, bila memang sedang ada ide, tuturnya, langsung saja ditulis. Begitu pula dalam keadaan lain, misalnya sepulang sekolah, sedang bermain, dan lain-lain.

 Diakuinya, bakat menulis yang dimiliki tak bisa lepas dari dukungan orangtuanya, terutama sang mama. Sejak kecil, Aini memang sudah terbiasa bermain dengan buku, alat tulis, krayon, dan kertas-kertas bekas yang diberikan mamanya. Saat mengetik di komputer, sang mama pun, kerap membiarkan Aini selalu berada di pangkuannya.

 “Mama banyak mendorong aku untuk terus semangat menulis. Ayo dong nulis lagfi, kata mama. Kalau udah kayak gitu aku jadi semangat lagi deh,” ungkap pasangan Tjahjo Suprajogo dan Adiyatu Fathu Roshanah itu dalam sebuah perbinncangan yang disiarkan Majalah Ummi spesial edisi anak.

Pimpinan Perguruan Diniyyah Puteri, Padang Panjang, Fauziah Fauzan, SE, Akt, M.Si, mengakui, karya-karya Aini mengandung nilai-nilai luhur. Aroma islaminya cukup menonjol dari semua cerpen yang dia tulis. “Mungkin itulah fitrah anak yang tak bisa diingkari oleh siapapun,” katanya.***

By: Bpk. Musriadi Musanif.

1 komentar: